Pancasila Versus Terorisme

Selasa, 1 Juni 2021 02:19:18 | By UB- 203
Mom Bari Tesagai/UB
Array

 

Oleh : Mom Bari Tesagai
Mahasiswa STISIPOL YALEKA MARO Merauke.

“Belajarlah pada Pancasila untuk menjadi manusia, sebelum belajar agama, agar kelak ketika membela agama engkau tetap menjadi manusia, tidak bertindak sebagai Tuhan”.

Melihat dari judul tulisan diatas ada beberapa pertanyaan yang timbul pada benak kita, dua kata yang terkesan biasa dan sering kita baca atau mendengar pada media media publik atau pada komunikasi keseharian masyarakat kita.

Namun akan mulai berbeda ketika kita coba melakukan penguraian secara serius dari beberapa bidang keilmuan khususnya masalah semangat filosofis dari dua pembendaharaan kata diatas.

PANCASILA

Mengingat dari potongan sejarah kebangsaan kita, dinamika lahirnya Pancasila bukan secara tiba-tiba hadir dan digunakan dalam negara bangsa Indonesia.

Hasil pergolakan pemikiran yang terjadi saat itu memakan waktu dan energi yang cukup menguras pikiran para pendiri kemerdekaan Indonesia.

Indonesia membutuhkan satu konsepsi dalam menerjemahkan tujuan semangat kebangsaannya, sebuah negara baru yang lahir dari perjuangan nasionalisme semesta, yang di kolonisasi selama 3 abad lebih.

Benturan peradaban bukan hanya terjadi dalam tataran ide dan gagasan bukan hanya terjadi pada kelompok kelompok revolusi rakyat pada saat itu namun disempurnakan dengan pergerakan rakyat secara nyata dengan kekuatan persenjataan seadanya melawan kolonial Belanda dengan kekuatan tempur moderen pada masanya.

Rakyat Indonesia mampu menghalau dan merebut kembali tanah air nya dan mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Pasca kemerdekaan bangsa ini dihadapkan pada persoalan bagaimana merekatkan semangat atau tujuan dari sebuah perjuangan kemerdekaan, amanat kemerdekaan yang direbut bersama membutuhkan satu filosofi sebagai dasar pijakan arah bernegara.

Inilah kegelisahan Sukarno yang pertama: ide atau gagasan apa yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, ras, tradisi, adat istiadat, kepercayaan, dan aliran politik.

Ada lagi kegelisahan yang lain, soal masa depan Indonesia setelah merdeka. Akankah Indonesia merdeka akan menuju cita-cita mulia, masyarakat adil dan makmur. Ataukah berbelok ke jalan yang lain?

Kekhawatiran itu tentu beralasan, membaca kisah revolusi di belahan dunia lain, terutama revolusi Perancis, menurut Sukarno, karya-karya kaum revolusioner Perancis, antara lain Jean Jaures, kereta kemenangan revolusi Perancis berbelok arah menuju kapitalisme, bukan menuju ke masyarakat sama-rata sama-rasa.

Sehingga, kendati sudah melalui revolusi, nasib rakyat jelata tetap tertindas dan terhisap; ia hanya berubah sifat penindasannya, dari penindasan feodalistik menjadi kapitalistik. tak mau nasib Revolusi Perancis terjadi pada bangsa yang diperjuangkannya.

Nah, agar mimpi buruk itu tak terjadi, Soekarno membayangkan ada sebuah leit star atau bintang penuntun arah, yang bisa menuntun bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur.

Ide atau gagasan apa yang bisa menjadi bintang penuntun arah bagi bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Kebutuhan akan adanya gagasan atau nilai-nilai bersama, yang berfungsi sebagai pemersatu sekaligus sebagai bintang penuntun arah, telah menuntun Sukarno pada penemuannya di kemudian hari soal weltanshauung atau pandangan hidup.

Dengan perdebatan yang lebih mendalam dan melibatkan banyak elemen, termasuk penghilangan 7 kata legendaris Piagam Jakarta, telah disusun Pancasila dengan lima prinsip yang seperti kita kenal sekarang.

Lima prinsip itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatanyang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Mengandung makna yang universal dan kaya filosofis, dan sesuai dengan perkembangan zaman, oleh karenanya Pancasila tidak bisa ditafsiran dalam arti atau penempatan makna yang sempit.

Sebab Pancasila menjujung tinggi hubungan manusia dengan ketuhanan, dan sebagai interpretasi ketuhanan melahirkan kemanusiaan memiliki derajat sama dan peradaban humanis yang Madani, membentuk persatuan yang kokoh dengan falsafah kesatuan dalam Tuhan dan kemanusiaan, begitu hikmat dan adil dalam berbagai linih strata sosial dan negara, menuju masyarakat sosialis demokrasitis bagi negara berbangsa Indonesia.

Pancasila jelas bukan kapitalisme, atau bukan neoliberalisme apalagi terorisme yang menjadi alat kolonisasi modren atau gaya batu, namun Pancasila adalah bintang penuntun arah rakyat yang dilahirkan dari nilai Sosio demokrasi yang mengakar dari karakter bangsa Indonesia itu sendiri.

TERORISME

Pendefinisian terorisme banyak pendapat yang berusaha membentuk secara konsepsi atau sampai pada ciri ciri yang diharapkan dapat memposisikan terorisme sebagai poros yang mampu terdeteksi secara lengkap dalam konteks hubungannya dengan kepentingan teroris itu sendiri.

Dengan kondisi keumuman sebagai suatu obyek, bahkan terorisme mampu berubah wajah sesuai alam fikiran atau stigmanisasi yang diberikan oleh kalayak, atau dengan kata lain teroris tidak berbentuk, yang membentuk sehingga teroris subur dan mampu dengan cepat beradaptasi adalah alam fikiran kita sendiri yang memberi ruang sehingga tumbuh dan subur dalam alam bawa sadar kita.

Apa lagi jika adanya pengaruh eksternal yang masif dan konsisten terjadi. Peristiwa WTC adalah awal dari sebuah hegemoni terorisme mulai mendunia dengan aksi aksi anti kemanusian dan meneror serta memporak porandakan stabilitas antar inter negara.

Kejadian itulah masyarakat dunia sadar bahwa adanya ancaman laten sebagai Konsekwensi dari sebuah perubahan paradigma zaman, dengan berbagai alasan dengan dasar ideologi penggerak yang sistemik membentuk gerakan teror lintas nasional.

Menjadikan terorisme sebagai musuh trans nasional, penduduk bumi secara langsung mendapatkan target musuh yang satu sehingga terorisme menjadi lawan tanding yang serius.

Kita sedang dihadapkan pada satu lawan hanya diketahui wujudnya pada saat kerusakan telah terjadi dan korban berjatuhan, mesin pembunuh efektif yang secara subtansial tidak berbentuk, namun mampu menggerakkan dan menghasilkan teror dan korban yang merata dalam bentuk materil dan jiwa.

Apakah terorisme itu lahir untuk mempersatukan masyarakat bumi ? Atau terorisme adalah obyek terselubung negara Adidaya atau kelompok ideologi tertentu untuk membentuk peradaban baru ?

Jawaban beraneka ragam yang akan kita dengar dari dua pertanyaan diatas, namun akhir dari sebuah aksi teror yang terjadi adalah kehancuran, dengan target yang sudah di tentukan oleh aktor dan pelaku teror, sifat terorisme adalah mengkapitalisasi sumberdaya lawan ideologis dengan tujuan penguasaan aset aset anti teroris.

Tentunya tidak terlepas dari kepentingan politik ekonomi global, liberalisasi ideologi dengan tujuan penjajahan paradigma adalah senjata utama untuk melakukan penguasaan suatu bangsa secara tidak langsung.

Sebab itu senjata utama bangsa Indonesia adalah kembali pada bintang penuntun arah, sebagai landasan perlawan dan pertahanan bangsa. Pancasila adalah vaksin kebangsaan dari virus ideologi terorisme, ketika terorisme menklaim keselamatan ada pada mereka, maka Pancasila menentang dengan mentauhidkan Tuhan adalah yang Maha Esa dan interpretasi hukum setiap warga negara dijamin untuk menjalankan ibadah serta memeluk agama dan kepercayaannya masing masing sesuai.

Kemanusiaan adil atau sama rata sama rasa, bukan keadilan menurut kekuasaan yang mengedepankan kepentingan oligarki dengan cara pemaksaan konsep keadilan menggunakan ledakan mematikan.

Persatuan indonesia adalah agenda mendesak untuk memperat kembali sendi sendi kebangsaan, adalah cara efektif melawan kelompok teror yang ter organisir, perlawanan terhadap terorisme adalah tanggung jawab rakyat, yang dipimpin dengan hikmat Humanis, Sosio cultural kerakyatan yang menolak segala bentuk penindasan melalui teror, akan membentuk kesadaran bersama, terwujud persatuan nasional untuk HANKAM RATA.

Dari opini ini saya ingin sampaikan, segera bergegas kembali pada nilai luhur Pancasila sebagai tameng dan pandangan hidup yang tidak perlu mengkerdilkan falsafah tersebut atas nama kepentingan dan tujuan ideologi kontra kebangsaan.

(Opini ini di tulis untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2021)

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments