MEMAHAMI SESAJEN DALAM BUDAYA JAWA

Selasa, 11 Januari 2022 02:37:40 | By Update Berita
Array

UPDATEBERITA.ID-Sesajen merupakan salah satu ritual Jawa yang komponennya terdiri dari makanan, bunga-bunga, kemenyan dan hasil pangan lainnya yang disajikan kepada roh leluhur. Hal tersebut merupakan tradisi nenek moyang, dan di zaman sekarang masih ada yang melestarikan dan mempercayai budaya Jawa dengan menggunakan sesajen pada saat-saat tertentu.

Pada kalangan yang masih melestarikan adat Jawa tersebut, menurut mereka sesajen merupakan suatu keharusan dilakukan pada acara tertentu. Sebagian orang berpendapat bahwa tujuan utama penggunaan sesajen adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan, dan sebagai tanda penghormatan leluhur yang telah tiada.

Sesajen itu berfungsi untuk menyajikan hasil bumi yang telah diberikan Tuhan. Hal tersebut dapat mengingatkan manusia, jika semua yang ada itu merupakan milik Tuhan. Dan pengolahan sesajen itu nantinya pun akan dimakan manusia itu sendiri.

Sesajen merupakan sebuah tradisi, di dalamnya terdapat nilai-nilai dianggap penting bagi masyarakat tertentu. Kaitannya dengan sesajen, nilai paling dominan adalah nilai kebenaran, dimana masyarakat menganggap sesajen sebagai ritual wajib dilaksanakan. Selain itu, mereka juga percaya dengan makna-makna terkandung dalam setiap komponen sesajen.

Sesajen adalah wujud dari sistem religi masyarakat Jawa. atau keluhuran budi pekerti dari orang Jawa dalam menghormati dan menjalin hubungan kepada Gusti, sesepuh, alam, makhluk lain dan sesamanya, sehingga terjalin kerukunan yang baik.

Sesajen terbuat dari banyak unsur, biasanya nasi, kembang/bunga, telur, buah-buahan dan lain sebagainya. Tiap komponen dari sesajen memiliki maknanya tersendiri, misalnya sbb:

  1. BERAS/PADI atau NASI: dibentuk seperti gunungan (tumpeng): Melambangkan kesempurnaan, ke-total-an, ketuntasan. Sebagai manusia, jika melakukan sesuatu, harus dengan sungguh-sungguh, tidak setengah-setengah, selesaikan apa yang kau mulai.

Tumpeng, adalah singkatan dari “tumungkulo sing mempeng” yang berarti, “jika ingin selamat, rajinlah beribadah.” (Selalu ingat Tuhan).

  1. URAP: Selama kita hidup di dunia ini, jadilah orang yang berarti bagi masyarakat sekitar, alam semesta, lingkungan, agama, dan negara. Kalau diartikan dengan mudah adalah jadilah orang yang berguna, yang baik, yang positif. Berikan kontribusi yang baik.
  2. BUBUR PANCA WARNA: (panca artinya lima) – Bubur jagung, ketan putih, bubur kacang hijau, ketan hitam dan bubur beras merah – Mereka diletakkan di semua arah mata angin, yang satu diletakkan di tengah, orang Jawa menyebutnya sebagai “Kiblat Papat Limo Pancer”. Menyimbolkan kelima elemen alam yaitu: air, udara, api, tanah dan angkasa.
  3. JAJANAN PASAR: Representasi dari kerukunan, walaupun manusia dan komunitas nya selalu berbeda, hendaknya selalu ada tenggang rasa.
  4. PISANG RAJA GANDENG: Simbolisasi dari cita-cita yang besar dan luhur. Sebagai manusia, hendaknya kita terus membangun bangsa dan negara.
  5. AYAM INGKUNG / AYAM BAKAR: Melambangkan cinta kasih dan pengorbanan. Selama kita hidup, berilah kasih sayang, perhatian, kepedulian, pengorbanan.
  6. IKAN BANDENG / IKAN ASIN (yang berduri banyak): Artinya, rejeki berlimpah. Jika memakai ikan teri, yang hidupnya biasa bergerombol, ini melambangkan kerukunan.
  7. TELUR: Simbol dari asal mula kehidupan yang selalu berada dalam dua sisi yang berbeda seperti laki-laki / perempuan, siang / malam.
  8. AIR DAN BUNGA: Melambangkan air yang menjadi kebutuhan pokok manusia sehari-hari, dan bunga sebagai ungkapan bahwa manusia sejatinya punya hati baik dan indah laksana bunga.
  9. KOPI PAHIT: Melambangkan kekuatan dan kejujuran apa adanya, juga sebagai simbol kerukunan dan persaudaraan, karena kopi biasanya diminum pada saat pertemuan, acara sosial, perkumpulan.
  10. KRAMBIL (Buah Kelapa yang sudah masak sempurna): Melambangkan bahwa manusia ini diciptakan oleh GUSTI Dzat Maha Sempurna, oleh sebab itu sejatinya manusia memiliki kesempurnaan dalam akhlak, sehingga punya akhlak mulia, bisa bermanfaat bagi sesama.

Buah Kelapa yang sempurna terdiri atas serabut kelapa di bagian paling luar, di bagian yang lebih dalam terdapat lapisan keras, biasa disebut batok. Kemudian di dalamnya lagi terdapat isi kelapa dan di bagian paling dalam terdapat air kelapa. Serabut membungkus batok, batok membungkus isi, isi membungkus air.

Jika kita perhatikan, kesemuanya itu tidak pernah terbolak-balik. Batok tidak pernah berada di sisi paling luar apalagi airnya. Seandainya airnya berada di bagian luar tentunya rasanya tidak akan segar karena sudah terkontaminasi dengan udara bebas.

Ibarat buah kelapa, akhlak mulia adalah santan gurih. Santan yang baik dihasilkan dari sebiah proses panjang dan berkesinambungan.

  1. KEMBANG TELON (Mawar Merah, Mawar Putih, Kenanga): Melambangkan harapan meraih Tri Tunggal Jaya Sempurna — Sugih Banda, Sugih Ilmu lan Sugih Kuasa, anamgin tetep ngumawula (merakyat).
  2. TIKAR: Melambangkan manusia butuh tempat berteduh dan mencari bekal kehidupan dengan membuka lahan. Dunia menjadi panggung manusia untuk belajar memahami.
  3. DUPA/KEMENYAN: sebagai sebuah tindakan untuk menciptakan suasana hening dan sakral. Tentu saja juga untuk menciptakan ruangan atau tempat yang harum. Dengan demikian proses berjalannya acara ritual dapat lebih terkonsentrasi, tidak terganggu oleh kebisingan dan bau tak sedap.

“Niyat ingsun ngobong dupo, kukuse  dumugi angkoso, kang anggondo arum pinongko tali rasaningsun manembah dumateng Gusti Kang Akaryo Jagad.”

(Aku berniat membakar dupa, asapnya yang membubung ke angkasa, berasa harum sebagai tali yang mengikat rasaku untuk menyembah kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta).

Sesajen tidak luput juga memengaruhi pernak-pernik keseharian masyarakat Jawa. Sebelum masuknya Islam, agama yang berkembang di tanah Jawa adalah Hindu-Budha. Konsep sesajen kemudian tidak terlepas dari pengaruh pandangan agama-agama pendahulu ini.

Setiap upacara yang sakral terdapat sesajen di dalamnya, seperti upacara pernikahan, khitanan, kematian dan sebagainya. Segala yang berurusan dengan siklus manusia entah itu kelahiran, kematian, sesajen turut mewarnai. Tidak jarang, sesajen menjadi kelengkapan yang harus hadir menyelimuti upacara-upacara sakral. Upacara yang dilakukan selalu ditentukan dengan perhitungan hari baik, orang Jawa menyebutnya dengan “nogo dino”. Dari semua upacara, peringatan 1 Sura dipandang sebagai hari paling sakral oleh masyarakat Jawa.

Sesajen tidak mungkin lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Perkembangan sesajen mengalami fase yang panjang, buktinya sampai saat ini masih tetap dipertahankan dan menyatu dalam sendi-sendi kehidupan dan aktivitas masyarakat Jawa.

Salah satu petikan kalimat falsafah hidup Jawa yang penting untuk merefleksikan sesajen adalah,  “weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun marang Pangeran” (Mengakui adanya Tuhan berarti sudah mengenal dirinya sendiri, jika belum mengetahui dirinya sendiri mustahil dapat mengenal Tuhan).

Sebelum mengenal Tuhan, manusia sejatinya harus mengenal dirinya. Beragam makna yang tergambar dalam sesajen menunjukkan bahwa semua hal ihwal tradisi ini merupakan upaya mengenali jati diri manusia. Sesajen dengan begitu adalah sarana melihat kesejatian diri masyarakat Jawa.

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments